About

Selasa, 06 Desember 2011

Mendirikan Apotek

PP51/2009 hanya memberikan kewenangan dalam mendirikan Apotek kepada Apoteker. Hal ini berbeda dengan PP25/1980 yang membolehkan perusahaan tertentu milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun oleh pemerintahan yang mengurusi masalah kesehatan baik pusat maupun daerah ataupun oleh Apoteker sendiri untuk itu yang pada PP26/1965 sebelumnya masih diperbolehkannya koperasi maupun pihak swasta juga diperbolehkan untuk turut mengusahakan.
Atas alasan Peraturan Perundangan, hanya Apoteker yang dapat mendirikan Apotek. Pasal 25, PP51 menyadari bahwa untuk itu diperlukan modal yang tidak sedikit. Pemerintah tetap memberikan 'kesempatan kepada pihak lain' untuk terlibat. Namun keterlibatan pihak lain tersebut adalah (dibatasi) pada proses sebelum Apotek tersebut didirikan oleh Apoteker. Secara spesifik 'pembatasan' tersebut adalah berbentuk KONTRIBUSI PERMODALAN dan sama sekali tidak diperbolehkan turut campur tangan dalam bagaimana praktik kefarmasian dilakukan (diberlangsungkan) oleh Apoteker itu sendiri (ayat 2).
Oleh karena itu Apoteker harus dapat membuat suatu mekanisme bagaimana melibatkan' pihak ketiga dalam proses awal pendirian Apotek tanpa membuka peluang terjadinya campur tangan itu sendiri selama berlangsungnya kerjasama yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah Tips Bagaimana Mendirikan Apotek secara benar oleh Apoteker terkait Permodalan :
  1. Apoteker membuat Rancangan/Rencana Pendirian Apotek
  2. Apoteker menyusun (seluruh) Anggaran/Modal yang diperlukan
  3. Apoteker menetapkan sumber-sumber Modal dan Struktur Permodalan (modal sendiri dan atau modal dari pemilik modal)
  4. Apoteker menetapkan model/pola Kerjasama terkait Penyertaan Modal (jika permodalan melibatkan pihak ketiga)
  5. Apoteker melakukan Penawaran Penyertaan Modal kepada pihak ketiga
  6. Apoteker membuat ketentuan dan tatacara (time schedule) Penyerahan Modal yang akan disertakan
  7. Apoteker membuat komitmen pemberian hasil Penyertaan Modal termasuk konesekuensi jika tidak dapat memenuhinya
  8. Apoteker menentukan prosedur dan tatacara Pengakhiran Kerjasama tanpa membuka peluang 'terkuasainya Perbekalan Farmasi'  oleh pemodal atau pihak-pihak lain yang tidak berwenang berdasarkan peraturan perundangan.
  9. Atas Apotek yang telah berdiri sebelumnya : Apoteker bersama Pemilik Modal harus menghitung ulang SELURUH investasi yang pasti dibutuhkan oleh Apoteker dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian di tempat tersebut. Dimulai dari langkah ke-2 dan seterusnya...
Hal-hal Prinsip yang harus diperhatikan pada Penyusunan Draft Perjanjian Kerjasama Penyertaan Modal :
  1. Judul Perjanjian : PERJANJIAN KERJASAMA PENYERTAAN MODAL; bukan Perjanjian Kerjasama Penyelenggaraan Apotek. atau Perjanjian Kerjasama Apotek atau Perjanjian Kerjasama Mendirikan Apotek.
  2. Pihak Pertama adalah APOTEKER sebagai Tenaga Kefarmasian (dibuktikan dengan kepemilikan STRA yang sah dan masih berlaku), tidak boleh hanya menggunakan KTP; Pihak Kedua adalah PEMODAL/INVESTOR. Secara hukum, hal tersebut menunjukkan bahwa Apoteker adalah bersifat proaktif (sekaligus sebagai Subyek Utama/Primer) sedangkan Pemodal/Investor adalah bersifat kontributif (Subtek Penyerta/Sekunder). Bukan sebaliknya.
  3. Terhadap Cakupan Kerjasama : Pihak Pertama membatasi kontribusi Pihak Kedua. Yakni hanya terkait besaran modal, pembagian hasil (porporsional terhadap nilai investasi) dan mekanisme pengembalian modal awal pada akhir kerjasama.
  4. Terhadap Perbekalan Farmasi (Obat) : Merupakan milik dan dikuasai oleh Apoteker sepenuhnya. Bukan milik Apoteker bersama Pemodal. Kepemilikan/kontribusi modal oleh pemilik modal tidak dapat dijadikan alasan legal untuk memiliki/menguasai Perbekalan Farmasi (Obat).
  5. Terhadap karyawan Apotek : Sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh Apoteker. Pemodal tidak dibenarkan turut mengatur atau mempengaruhi atau membuat sistem atau mekanisme sedemikian sehingga independensi Apoteker menjadi terganggu.
  6. Terhadap Pengembalian Modal pada pengakhiran kerjasama :
    • Aset-aset tetap (benda diam) seperti tanah, bangunan dan sejenisnya secara fisik diserahkan kembali kepada pemilik sesuai kondisi terakhir.
    • Perabotan dan benda bergerak dikembalikan sesuai kondisi terakhir kepada pemilik
    • Uang kontan dikembalikan sebesar Modal Awal yang disertakan pada saat Perjanjian Kerjasama dibuat.
  7. Dalam keadaan Apoteker tidak sanggup mengembalikan Uang Kontan sebesar Modal Awal, maka Apoteker dapat mengkonversinya dalam bentuk Perbekalan Farmasi (Obat) yang senilai dengan modal awal tersebut akan tetapi dengan ketentuan bahwa fisik Perbekalan Farmasi (Obat) tidak dapat diserahkan atau dikuasakan kepada Pemodal melainkan diserahkan dan dikuasakan kepada Apoteker Penggantinya yang sah (telah ber-SIPA) ditempat tersebut setelah tercapainya Perjanjian Kerjasama Penyertaan Modal baru atas keduanya (Apoteker Baru dan Pemodal).
  8. Kelebihan/sisa Perbekalan Farmasi (Obat) setelah dikurangi nilai modal awal (pada Pengakhiran Kerjasama), sepenuhnya adalah hak milik dan dalam penguasaan Apoteker. Jika dipandang perlu Apoteker dapat 'menjual' kelebihan/sisa Perbekalan Farmasi (Obat) tersebut kepada 'Apoteker Baru yang telah sah yang menggantikannya'
Tambahan hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Apoteker :
  • Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker menyerahkan Perbekalan Farmasi (Obat) dan/atau menyuruh untuk menggantikan posisinya dan/atau sebagian dan/atau seluruh pekerjaan kefarmasian kepada Apoteker lain yang belum memiliki bukti kewenangan yang sah (belum ber-SIPA).
  • Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker mempekerjakan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang belum memiliki SIKTTK.
  • Peraturan Kefarmasian tidak membenarkan Apoteker memberikan wewenang kepada TTK untuk menyerahkan obat kepada pasien. TTK diberi kewenangan untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang tidak ada apotekernya; akan tetapi kewenangan tersebut diberikan melalui (berdasarkan) Peraturan Menteri Kesehatan ("bukan Apoteker yang memberikan")
  • Undang-undang melarang siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian  dengan alasan apapun kecuali atas tenaga kesehatan tertentu yang melaksanakan tugas seperti dokter, bidan dan perawat dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian di daerah terpencil dan dalam keadaan darurat yang secara medis dapat mengancam keselamatan nyawa pasien (amar Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Juni 2011).
  • Apoteker yang (turut) mengkondisikan sedemikian sehingga orang lain melakukan tindakan praktik kefarmasian (termasuk tetapi tidak hanya terbatas pada penyaluran/pelayanan/penyerahan obat kepada pasien/orang lain) adalah suatu tindakan pelanggaran (tercela) yang dapat dikenai sangsi oleh peraturan perundangan dan atau misconduct oleh Organisasi Profesi.

Catatan :


Kebijakan PD IAI JAWA BARAT atas APOTEK PROFESI
 Untuk mendorong agar Apotek menjadi sarana pelayanan kefarmasian yang profesional yang mendukung konsep praktik kefarmasian oleh Apoteker
  1. Nilai Rencana Anggaran Apotek yang dapat dikerjasamakan sekurang-kurangnya adalah sebesar Rp 200 juta (dua ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan.
  2. Apoteker dapat menyertakan lebih dari satu pemilik modal (perorangan, perusahaan atau gabungan keduanya) untuk mendukung realisasi Anggaran Apotek yang direncanakannya.
  3. Apabila Rencana Anggaran Apotek kurang dari Rp 200 juta (dua ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, maka Apotek demikian sedapatnya didirikan/dikuasai secara mandiri (pribadi) oleh Apoteker (tidak dikerjasama-modalkan).
  4. Bagi Apotek (Lama) yang nilai Aset/Investasi kurang dari Rp 450 juta (empat ratus lima puluh juta rupiah) di luar tanah dan bangunan diharapkan untuk bergabung melalui suatu mekanisme tertentu (merger) dengan Apotek lain di bawah koordinasi Apoteker-apoteker penanggungjawab sebelumnya.
Seorang Apoteker yang (akan) bertindak sebagai Apoteker Penanggungjawab/Pengelola suatu Sarana Pelayanan harus mampu :
  1. Merancang Tipe Apotek ideal dalam perspektif profesi (pelayanan kefarmasian) yang sebenarnya.
  2. Merancang Tataruang Apotek yang mencerminkan ciri profesi dibandingkan ciri dagang/bisnis.
  3. Merancang Apotek yang lebih mengedepankan dokumen-dokumen profesi (GPP/CPFB) dibanding dokumen bisnis. Artinya dokumen-dokumen profesi lebih banyak/dominan dibanding dokumen transaksional (bisnis/dagang)
  4. Merancang Penjadwalan Pelayanan Apotek yang mencerminkan Apoteker sebagai 'Pelaku Utama' Pelayanan Kefarmasian yang didukung oleh TTK sebagai mitra asuh.
  5. Merancang Apotek dengan Anggaran senilai sekurang-kurangnya Rp 200 juta di luar tanah, bangunan dan fasilitas lain.
  6. Mengelola dan mengendalikan 'beberapa (calon) Pemodal' yang mungkin (akan) terlibat dalam permodalan Apotek
  7. Memberikan kontribusi dan memenuhi janji pengelolaan modal kepada para pemodal yang terlibat dalam permodalan Apotek.
  8. Merancang Sistem Pelayanan Kefarmasian yang mampu meningkatkan kompetensi dirinya secara langsung dan pengembangan profesi ke depan
  9. Menyiapkan diri (Apotek) sebagai tempat berlatih bagi siswa/mahasiswa farmasi guna mengembangkan ilmu dan kualitas pelayanan kefarmasian di masa yang akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India